Rabu, 19 Desember 2012

Nasib TKI Menunggu Hukuman Pancung Jika Tak Bayar Diyat 18 Miliar


Satinah. (foto:net)
Arab Saudi - Setelah dinyatakan sebagai pembunuh dan dijatuhi eksekusi pancung, pemerintah Kerajaan Arab Saudi semula menetapkan batas waktu pembayaran diyat hingga 14 Desember. Namun setelah berunding, keluarga korban sepakat memberi kelonggaran waktu hingga enam bulan mendatang.

Keluarga majikan minta ganti rugi atas kematian anggota keluarga mereka senilai Rp 18 miliar, turun dari permintaan sebelumnya, Rp 25 miliar, sebagai syarat melepaskan Satinah dari hukuman pancung.

Turunnya ganti rugi kematian atau diyat ini menurut Ketua Satuan Tugas TKI, Humfrey Djemat merupakan hasil kerja tim perunding yang diutus pemerintah Indonesia, yang diketuai oleh Mantan Menteri Agama sekaligus mantan Ketua Satgas TKI, M Maftuh Basyuni.
Melalui Maftuh, kata Humfrey, pemerintah berhasil menurunkan diyat. Namun sedang ditawar kembali sekitar Rp 7,7 miliar. "Meskipun itu buat kita masih besar sekali, tetapi demi keselamatan warga kita ya kita lakukan," kata Humfrey, Rabu (19/12), seperti dilansir BBC.

"Jadi sekarang yang penting Satinah selamat dulu, setelah ini kita ada waktu untuk berunding kembali apakah ahli waris (korban) mau terima tawaran kita atau tidak," ujar Humfrey.
TKW Ruyati binti Satubi bahkan menjalani hukuman pancung di Arab Saudi pada 18 Juni 2011 setelah melewati hanya dua kali sidang di pengadilan.

Diyat adalah sejumlah uang atau harta yang wajib diberikan karena suatu perbuatan pidana kepada korban kejahatan atau walinya. Diyat disyariatkan dalam tindakan pembunuhan dan penganiayaan.

Satinah Binti Djumadi binti Amad Rabin datang ke Arab Saudi sebagai pembantu rumah tangga tahun 2006. Ia mengaku diperlakukan kasar dan disiksa majikannya, Satinah kemudian melawan dan memukul majikan perempuannya.

Dalam insiden tahun 2007, majikannya yang tinggal di Provinsi Al Ghasseem, Arab Saudi, meninggal dunia. Kemudian, pada September 2010, Raja Arab Saudi telah menyetujui hukuman pancung untuk Satinah atas tudingan kejahatan pembunuhan.

Proses memperjuangkan keringanan hukuman TKW asal Ungaran, Jawa Tengah ini menurut Humfrey bisa dilakukan karena ahli waris korban sudah memberikan maaf. "Jadi sudah ada pemberian maaf. Sekarang tinggal kita negosiasi diyatnya saja. Ini keluarga (korban) mengatakan akan berunding dulu," ujar Humfrey.

Pemerintah telah menyiapkan sejumlah aturan untuk melindungi TKI jika terbelit kasus hukum, namun tidak ada kewajiban menanggung ganti‑rugi seperti uang diyat. Berdasarkan Polis Asuransi TKI dan Permenakertrans tentang Asuransi TKI, biaya yang dibantu antara lain urusan hukum (litigasi) dan advokasi sebesar maksimum Rp 100 juta.

Humfrey Djemat mengatakan, Indonesia merupakan satu‑satunya negara yang bersedia menanggung diyat untuk pekerja migrannya di Arab Saudi. "Belum lama ada tujuh atau delapan warga Pakistan dijatuhi hukuman pancung, ya mereka dieksekusi," katanya, Rabu (19/12).

Namun demikian, lanjut Humfrey, dikabulkannya permintaan ganti rugi keluarga korban oleh pemerintah hingga miliaran rupiah, dapat menjadi preseden buruk pada kasus-kasus berikutnya.  "Nanti akan berakibat pada TKI‑TKI yang lainnya," katanya.

Jumlah TKI Terancam Hukuman Mati
Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migran Care, memaparkan, sepanjang 2012 tercatat 420 TKI terancam hukuman mati. Yakni di Malaysia, Tiongkok, Singapura, Filipina dan Arab Saudi. "Dari jumlah itu, sebanyak 351 buruh migran asal Indonesia teracam hukuman mati di Malaysia," kata Anis di kantor International Labour Organization, Jakarta, Selasa lalu.
Anis mengatakan, TKI yang terancam hukuman mati sebanyak 351 di Malaysia, 22 di Tiongkok. 44 di Arab Saudi, dan 1 di Singapura dan Filipina. "Dari angka tersebut, 99 orang telah divonis mati," kata Anis. (*)
  


Tidak ada komentar:

Cari Indonesiaku