Satinah. (foto:net) |
Arab Saudi - Setelah dinyatakan sebagai pembunuh dan
dijatuhi eksekusi pancung, pemerintah Kerajaan Arab Saudi semula menetapkan
batas waktu pembayaran diyat hingga 14 Desember. Namun setelah berunding,
keluarga korban sepakat memberi kelonggaran waktu hingga enam bulan mendatang.
Keluarga majikan minta ganti rugi atas kematian anggota
keluarga mereka senilai Rp 18 miliar, turun dari permintaan sebelumnya, Rp 25
miliar, sebagai syarat melepaskan Satinah dari hukuman pancung.
Turunnya ganti rugi kematian atau diyat ini menurut Ketua
Satuan Tugas TKI, Humfrey Djemat merupakan hasil kerja tim perunding yang
diutus pemerintah Indonesia, yang diketuai oleh Mantan Menteri Agama sekaligus
mantan Ketua Satgas TKI, M Maftuh Basyuni.
Melalui Maftuh, kata Humfrey, pemerintah berhasil menurunkan
diyat. Namun sedang ditawar kembali sekitar Rp 7,7 miliar. "Meskipun itu
buat kita masih besar sekali, tetapi demi keselamatan warga kita ya kita
lakukan," kata Humfrey, Rabu (19/12), seperti dilansir BBC.
"Jadi sekarang yang penting Satinah selamat dulu,
setelah ini kita ada waktu untuk berunding kembali apakah ahli waris (korban)
mau terima tawaran kita atau tidak," ujar Humfrey.
TKW Ruyati binti Satubi bahkan menjalani hukuman pancung di
Arab Saudi pada 18 Juni 2011 setelah melewati hanya dua kali sidang di
pengadilan.
Diyat adalah sejumlah uang atau harta yang wajib diberikan
karena suatu perbuatan pidana kepada korban kejahatan atau walinya. Diyat
disyariatkan dalam tindakan pembunuhan dan penganiayaan.
Satinah Binti Djumadi binti Amad Rabin datang ke Arab Saudi
sebagai pembantu rumah tangga tahun 2006. Ia mengaku diperlakukan kasar dan
disiksa majikannya, Satinah kemudian melawan dan memukul majikan perempuannya.
Dalam insiden tahun 2007, majikannya yang tinggal di
Provinsi Al Ghasseem, Arab Saudi, meninggal dunia. Kemudian, pada September
2010, Raja Arab Saudi telah menyetujui hukuman pancung untuk Satinah atas
tudingan kejahatan pembunuhan.
Proses memperjuangkan keringanan hukuman TKW asal Ungaran,
Jawa Tengah ini menurut Humfrey bisa dilakukan karena ahli waris korban sudah
memberikan maaf. "Jadi sudah ada pemberian maaf. Sekarang tinggal kita
negosiasi diyatnya saja. Ini keluarga (korban) mengatakan akan berunding
dulu," ujar Humfrey.
Pemerintah telah menyiapkan sejumlah aturan untuk melindungi
TKI jika terbelit kasus hukum, namun tidak ada kewajiban menanggung ganti‑rugi
seperti uang diyat. Berdasarkan Polis Asuransi TKI dan Permenakertrans tentang
Asuransi TKI, biaya yang dibantu antara lain urusan hukum (litigasi) dan
advokasi sebesar maksimum Rp 100 juta.
Humfrey Djemat mengatakan, Indonesia merupakan satu‑satunya
negara yang bersedia menanggung diyat untuk pekerja migrannya di Arab Saudi.
"Belum lama ada tujuh atau delapan warga Pakistan dijatuhi hukuman
pancung, ya mereka dieksekusi," katanya, Rabu (19/12).
Namun demikian, lanjut Humfrey, dikabulkannya permintaan
ganti rugi keluarga korban oleh pemerintah hingga miliaran rupiah, dapat
menjadi preseden buruk pada kasus-kasus berikutnya. "Nanti akan berakibat pada TKI‑TKI yang
lainnya," katanya.
Jumlah TKI Terancam
Hukuman Mati
Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migran Care, memaparkan,
sepanjang 2012 tercatat 420 TKI terancam hukuman mati. Yakni di Malaysia,
Tiongkok, Singapura, Filipina dan Arab Saudi. "Dari jumlah itu, sebanyak
351 buruh migran asal Indonesia teracam hukuman mati di Malaysia," kata
Anis di kantor International Labour Organization, Jakarta, Selasa lalu.
Anis mengatakan, TKI yang terancam hukuman mati sebanyak 351
di Malaysia, 22 di Tiongkok. 44 di Arab Saudi, dan 1 di Singapura dan Filipina.
"Dari angka tersebut, 99 orang telah divonis mati," kata Anis. (*)