Oleh: Handoyo El Jeffry (vvn)
Politics is the art of the possible.
Politik adalah seni kemungkinan. Di dalam ragam kemungkinan ada ragam
seni turut berperan. Di balik ragam seni ada ragam kemungkinan dari
ragam tujuan. Kekuasaan, kepentingan, dan kesenian membaur dalam satu
permainan. Dari dinamika aksi-reaksi oleh aktor-‘reaktor’ politik,
gelaran sinematika terhidang. Setiap pernak-pernik keindahan di balik
cerita-berita, meski kadang berakhir dengan derita, kenapa kita tergesa
melewatkan pesan hikmah di dalamnya?
Ruhut Sitompul. Salah satu dari ratusan aktor-aktris yang membuat panggung politik menjadi medan magnetik publik. Lewat akting karakter yang hidup, Ruhut sukses memainkan lakon peran ganda sesuai relativitas keberpihakan pemirsa. Kadang berperan sebagai protagonis yang beraksi penuh heroik. Kadang pula berperan sebagai protagonis dengan aksi yang terlihat sadis non-kompromistis.
Maklum saja, seperti ungkapan yang keluar dari mulutnya, semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpa. Tak dipungkiri, Ruhut adalah selebriti. Piawai menggabung multi profesi, sebagai seorang aktor sinematografi, lawyer sekaligus politisi, Ruhut sukses tumbuh sebagai figur kontroversi. Di dunia sinema, nama “Poltak Raja Minyak” melambung lebih tinggi dari namanya yang asli. Protagonis sombong pemuja materialisme cinta ala Rahwana, musuh para pemuja kesucian cinta ala Rama.
Di dunia hukum, Ruhut adalah pengacara yang siap menangani kasus-kasus berbau kontroversial dan kurang populer. Salah satunya adalah bersama Hotma Sitompul menjadi pengacara Akbar Tandjung dan sejumlah yayasan milik mantan Presiden Soeharto saat semua orang menghujat Orde Baru di awal-awal masa reformasi. Maklum pula, saat itu Ruhut adalah salah satu kader Golkar sejak bergabung pada 1983.
Dari hukum meloncat ke politik. Dari politik meloncat antar partai politik. Tahun 2004 Ruhut melakukan loncatan bersejarah dengan bergabung ke Demokrat. Di sinilah, akting Ruhut di dunia politik terlihat lebih hebat dan luar biasa. Setelah bermutasi genetik dari ‘darah kuning’ ke ‘darah biru,’ Si Poltak Raja Minyak tampil super impresif sebagai ‘penyambung lidah’ SBY. Lagi-lagi, aksi kontroversi antagonis diperankan dengan cantik oleh Ruhut.
Rasisme menerpa, ketika menyerang lawan dengan kata-kata “Arab” menyinggung Permadi dan Fuad Bawazier, “Si Cina” untuk Kwik Kian Gie dan Daeng untuk Jusuf Kalla. Tak Cuma itu. Sebagai seorang aktor yang menjiwai karakter dengan sempurna, gaya bahasa hiperbolis kerap digunakannya. “Potong kuping, potong leher, potong leher dan rajam.” Apalagi pada Gayus Lumbuun, Ruhut juga pernah melontarkan kata “bangsat.”
Mungkin Ruhut lupa bahwa lidah yang berbuah kontroversi adalah akibat ungkapan tak lumrah di arena politik yang katanya mesti santun dan bermartabat. Atau mungkin juga kita yang lupa, bahwa Ruhut sedang memainkan kombinasi tiga profesi, sebagai politisi, ahli hukum dan aktor sinematografi. Sebagai politisi, ia berhak membela kepentingan partai sebagai bentuk loyalitas-profesionalitas. Sebagai ahli hukum, ia juga paham benar bahwa semua itu tak melanggar hukum. Dan jika tidak terima, silahkan lanjutkan di ranah hukum. Dan sebagai aktor, tentu ia akan bermain sebaik-baiknya sesuai tuntutan skenario dan arahan sutradara. Dalam dunia semiotika politik kepentingan dan kepentingan politik, hiperbola diperlukan untuk meyakinkan orang pada kata-kata.
Baru-baru ini. Ruhut semakin populer ketika terjebak dalam pusaran gonjang-ganjing Demokrat, pasca terjeratnya kader-kader penting partai, termasuk Andi Mallarangeng. Elektabilitas partai turun secara signifikan, profesionalitas dan loyalitas Ruhut mendapat ujian. Kembali kontroversi mendera ketika perseteruan lama dengan Ketua Umum Anas Urbaningrum berbuah pemecatan dirinya dari kepengurusan partai. Katanya, Ruhut sering membuat panas kuping Anas, menuntut sang ketua umum mundur dari jabatan agar partai yang tersandera kasus korupsi terselamatkan.
Ruhut adalah Ruhut yang selalu meledak-ledak dan ngotot pada pendirian, konon katanya sudah dari sononya karakter itu terbentuk. Untuk sebuah prinsip, tak ada yang perlu dicemaskan, dan tak ada yang perlu disembunyikan, alias blak-blakan. Melihat Ruhut, kita tak bisa cukup melihat dari satu sisi mata. Bagi Demokrat, di satu sisi ia adalah musuh dalam selimut (bangsat-tumbila) yang mesti dienyahkan segera demi soliditas partai. Tapi di sisi lain, ia dalah pejuang sejati Demokrat, penerjemah suara hati Ketua Dewan Pembina, SBY.
Sayang, keberuntungan tidak memihak Ruhut, karena SBY yang menjadi “ruh sentral” Demokrat juga nampaknya tak lagi berkenan menyelamtkannya. Padahal, bagi Demokrat, terlepas dari kontroversi ucapannya, Ruhut adalah mutiara berharga. Dalam strategi dan formasi partai, ibarat permainan sepakbola, ia adalah Gennaro Gattuso bagi AC Milan. Seumpama bola basket, ia adalah Dennis Rodman bagi Chicago Bulls. Fungsi Ruhut, Gattuso, dan Rodman sama, yakni merusak irama permainan yang coba dikembangkan lawan.
Dalam dunia pewayangan, Ruhut hampir mirip dengan Wibisana yang diusir oleh kakak kandungnya Rahwana, Raja Alengka, ketika terjadi sengketa bernuansa cinta merebut Sinta dari tangan Rama. Merasa yakin sang kakak berada di posisi salah, Wibisana enggan membelanya, padahal selama ini ia loyal kepada negara Alengka. Padahal kedua bersaudara ini adalah sama-sama kelompok buto (raksasa) yang dikenal dengan tabiat jahat tak kenal norma-etika. Untuk sebuah prinsip yang diyakini kebenarannya, kadang seseorang (termasuk ia yang kerap kita hakimi sebagai orang jahat),mesti berani melawan arus dan nekad menyongsong bahaya.
Apakah dengan disingkirkannya Ruhut Demokrat selamat dari ancaman karam di Pemilu 2014 mendatang? Dan dengan tersingkir dari kepengurusan, apakah karier Ruhut akan terkubur, karena seperti yang diucapkannya, ia akan tetap di Demokrat, tak akan ke mana-mana? Ataukah justru melakukan loncatan ketiga berpindah partai, bermutasi warna darah, menjadi merah, hijau, hitam atau kembali kuning seperti semula?
Tak ada yang bisa menjawabnya, kecuali Ruhut sendiri. karena politik adalah seni kemungkinan untuk meraih kekuasaan. Kehadiran Ruhut “Poltak Raja Minyak” Sitompul di arena politik, anggap saja sebagai pencair ketegangan saraf kita. Entertaining dan seni sinematografi tetap dibutuhkan dalam tata dekorasi panggung politik. Agar dunia “laga kekuasaan” tidak menjemukan, dan kalau bisa bernuansa keindahan, karena kata Taufik Ismail, sejatinya dunia ini hanyalah panggung sandiwara. (***)
Ruhut Sitompul "si Poltak Raja Minyak" |
Ruhut Sitompul. Salah satu dari ratusan aktor-aktris yang membuat panggung politik menjadi medan magnetik publik. Lewat akting karakter yang hidup, Ruhut sukses memainkan lakon peran ganda sesuai relativitas keberpihakan pemirsa. Kadang berperan sebagai protagonis yang beraksi penuh heroik. Kadang pula berperan sebagai protagonis dengan aksi yang terlihat sadis non-kompromistis.
Maklum saja, seperti ungkapan yang keluar dari mulutnya, semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpa. Tak dipungkiri, Ruhut adalah selebriti. Piawai menggabung multi profesi, sebagai seorang aktor sinematografi, lawyer sekaligus politisi, Ruhut sukses tumbuh sebagai figur kontroversi. Di dunia sinema, nama “Poltak Raja Minyak” melambung lebih tinggi dari namanya yang asli. Protagonis sombong pemuja materialisme cinta ala Rahwana, musuh para pemuja kesucian cinta ala Rama.
Di dunia hukum, Ruhut adalah pengacara yang siap menangani kasus-kasus berbau kontroversial dan kurang populer. Salah satunya adalah bersama Hotma Sitompul menjadi pengacara Akbar Tandjung dan sejumlah yayasan milik mantan Presiden Soeharto saat semua orang menghujat Orde Baru di awal-awal masa reformasi. Maklum pula, saat itu Ruhut adalah salah satu kader Golkar sejak bergabung pada 1983.
Dari hukum meloncat ke politik. Dari politik meloncat antar partai politik. Tahun 2004 Ruhut melakukan loncatan bersejarah dengan bergabung ke Demokrat. Di sinilah, akting Ruhut di dunia politik terlihat lebih hebat dan luar biasa. Setelah bermutasi genetik dari ‘darah kuning’ ke ‘darah biru,’ Si Poltak Raja Minyak tampil super impresif sebagai ‘penyambung lidah’ SBY. Lagi-lagi, aksi kontroversi antagonis diperankan dengan cantik oleh Ruhut.
Rasisme menerpa, ketika menyerang lawan dengan kata-kata “Arab” menyinggung Permadi dan Fuad Bawazier, “Si Cina” untuk Kwik Kian Gie dan Daeng untuk Jusuf Kalla. Tak Cuma itu. Sebagai seorang aktor yang menjiwai karakter dengan sempurna, gaya bahasa hiperbolis kerap digunakannya. “Potong kuping, potong leher, potong leher dan rajam.” Apalagi pada Gayus Lumbuun, Ruhut juga pernah melontarkan kata “bangsat.”
Mungkin Ruhut lupa bahwa lidah yang berbuah kontroversi adalah akibat ungkapan tak lumrah di arena politik yang katanya mesti santun dan bermartabat. Atau mungkin juga kita yang lupa, bahwa Ruhut sedang memainkan kombinasi tiga profesi, sebagai politisi, ahli hukum dan aktor sinematografi. Sebagai politisi, ia berhak membela kepentingan partai sebagai bentuk loyalitas-profesionalitas. Sebagai ahli hukum, ia juga paham benar bahwa semua itu tak melanggar hukum. Dan jika tidak terima, silahkan lanjutkan di ranah hukum. Dan sebagai aktor, tentu ia akan bermain sebaik-baiknya sesuai tuntutan skenario dan arahan sutradara. Dalam dunia semiotika politik kepentingan dan kepentingan politik, hiperbola diperlukan untuk meyakinkan orang pada kata-kata.
Baru-baru ini. Ruhut semakin populer ketika terjebak dalam pusaran gonjang-ganjing Demokrat, pasca terjeratnya kader-kader penting partai, termasuk Andi Mallarangeng. Elektabilitas partai turun secara signifikan, profesionalitas dan loyalitas Ruhut mendapat ujian. Kembali kontroversi mendera ketika perseteruan lama dengan Ketua Umum Anas Urbaningrum berbuah pemecatan dirinya dari kepengurusan partai. Katanya, Ruhut sering membuat panas kuping Anas, menuntut sang ketua umum mundur dari jabatan agar partai yang tersandera kasus korupsi terselamatkan.
Ruhut adalah Ruhut yang selalu meledak-ledak dan ngotot pada pendirian, konon katanya sudah dari sononya karakter itu terbentuk. Untuk sebuah prinsip, tak ada yang perlu dicemaskan, dan tak ada yang perlu disembunyikan, alias blak-blakan. Melihat Ruhut, kita tak bisa cukup melihat dari satu sisi mata. Bagi Demokrat, di satu sisi ia adalah musuh dalam selimut (bangsat-tumbila) yang mesti dienyahkan segera demi soliditas partai. Tapi di sisi lain, ia dalah pejuang sejati Demokrat, penerjemah suara hati Ketua Dewan Pembina, SBY.
Sayang, keberuntungan tidak memihak Ruhut, karena SBY yang menjadi “ruh sentral” Demokrat juga nampaknya tak lagi berkenan menyelamtkannya. Padahal, bagi Demokrat, terlepas dari kontroversi ucapannya, Ruhut adalah mutiara berharga. Dalam strategi dan formasi partai, ibarat permainan sepakbola, ia adalah Gennaro Gattuso bagi AC Milan. Seumpama bola basket, ia adalah Dennis Rodman bagi Chicago Bulls. Fungsi Ruhut, Gattuso, dan Rodman sama, yakni merusak irama permainan yang coba dikembangkan lawan.
Dalam dunia pewayangan, Ruhut hampir mirip dengan Wibisana yang diusir oleh kakak kandungnya Rahwana, Raja Alengka, ketika terjadi sengketa bernuansa cinta merebut Sinta dari tangan Rama. Merasa yakin sang kakak berada di posisi salah, Wibisana enggan membelanya, padahal selama ini ia loyal kepada negara Alengka. Padahal kedua bersaudara ini adalah sama-sama kelompok buto (raksasa) yang dikenal dengan tabiat jahat tak kenal norma-etika. Untuk sebuah prinsip yang diyakini kebenarannya, kadang seseorang (termasuk ia yang kerap kita hakimi sebagai orang jahat),mesti berani melawan arus dan nekad menyongsong bahaya.
Apakah dengan disingkirkannya Ruhut Demokrat selamat dari ancaman karam di Pemilu 2014 mendatang? Dan dengan tersingkir dari kepengurusan, apakah karier Ruhut akan terkubur, karena seperti yang diucapkannya, ia akan tetap di Demokrat, tak akan ke mana-mana? Ataukah justru melakukan loncatan ketiga berpindah partai, bermutasi warna darah, menjadi merah, hijau, hitam atau kembali kuning seperti semula?
Tak ada yang bisa menjawabnya, kecuali Ruhut sendiri. karena politik adalah seni kemungkinan untuk meraih kekuasaan. Kehadiran Ruhut “Poltak Raja Minyak” Sitompul di arena politik, anggap saja sebagai pencair ketegangan saraf kita. Entertaining dan seni sinematografi tetap dibutuhkan dalam tata dekorasi panggung politik. Agar dunia “laga kekuasaan” tidak menjemukan, dan kalau bisa bernuansa keindahan, karena kata Taufik Ismail, sejatinya dunia ini hanyalah panggung sandiwara. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar